Masyarakat Pesantren dan Resolusi Konflik
Kata Kunci:
Resolution, Conflict, Community, PesantrenAbstrak
AbstrakMenurut mayoritas kelompok santri, sejatinya, pesantren selalu mengedepankan budaya ta’dzim kepada wibawa seorang ustadz dan kyai, lebih-lebih adanya bingkai normatif yang mengikat, seperti ajaran kitab Ta’lim al-Muta’alim, yang tidak memungkinkan terjadinya konflik di dalamnya. Akan tetapi, yang terjadi, dinamika sosial pesantren yang masih menerapkan sistem manajemen pengelolaan sumber-sumber potensi berdasarkan figur seorang kyai (sebagai suatu panutan sekaligus pengambil kebijakan), sejatinya sangat rentan bagi tumbuhkembangnya sebuah konflik. Seperti yang banyak terjadi di pesantren-pesantren tradisional dan semi-modern, konflik terjadi, utamanya ketika sang kyai yang berposisi sebagai pendiri sekaligus pemilik pesantren meninggal dunia,atau ketika kyai pesantren, pendiri atau yang melanjutkan, para ustadz, pengasuh, atau juga para keluarga ikut melibatkan diri pada urusan di luar pesantren, misalnya kenegaraan, politik dan lain lain. Dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan teori penyelesaian sengketa, maka, tampak dengan jelas betapa penyelesaian resolusi konflik di pesantren seringkali ditempuh dengan cara-cara yang unik, di antaranya lewat perkawinan antar pesantren, istighotsah, haul dan akhirussanah. Dengan tahapan resolusi konflik melalui jalan silaturrahmi sebagai proses pencegahan konflik, bahtsul matsa’il sebagai proses penekanan dan peyekatan konflik, Tabayun sebagai proses pengaturan dan pengelolaan konflik serta islah sebagai proses akhir penyelesaian konflik.
Kata Kunci : Resolusi, Konflik, Masyarakat, Pesantren
Abstract
According to the majority religious groups, in truth, always give priority boarding to the authority ta’dzim culture and a religious teacher Kyai, the more their binding normative frame, such as the doctrine of al-Muta’alim Ta’lim book, which does not allow the conflict in it. However, that happens, the social dynamics of schools that still apply the system of management of the potential sources based on a figure of clerics (as a role model at the same time policy makers), is actually very vulnerable to tumbuhkembangnya a conflict. As is the case in traditional Islamic boarding schools and semi-modern, conflicts occur, especially when the clerics who plays as the founder and owner of boarding dies, or when the pesantren, the founder or the resume, the teachers, caregivers, or also the family become involved in affairs outside of schools, for example, state, politics and others. By using descriptive analysis method with dispute resolution theory, then, is clearly visible how the settlement of conflict resolution in schools are often taken with unique ways, including through intermarriage boarding, istighotsah, haul and akhirussanah. By stage of conflict resolution through the streets silaturrahmi as a process of conflict prevention, bahtsul matsa’il as the emphasis and peyekatan conflict, Tabayun as the process of setting and managing conflict and reconciliation as the final process of conflict resolution.
Keywords: Resolution, Conflict, Community, Pesantren
##submission.downloads##
Diterbitkan
2016-07-23
Terbitan
Bagian
Articles