Aktualisasi Islam dan Keindonesiaan Dalam Koteks Ideologi Negara Pancasila
DOI:
https://doi.org/10.47313/jkik.v4i1.1100Abstract
Indonesia adalah negara modern demokratis yang menjunjung tinggi posisi agama dalam kehidupan masyarakat dan negara. Secara institusional, negara Indonesia dibangun sebagai negara modern sekuler, tetapi secara filosofis, negara ini didasarkan pada Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila dijadikan sebagai dasar negara demi membangun persatuan bangsa Indonesia oleh kelompok Islam dan kelompok nasionalis dengan melakukan kompromi yang disebut sebagai kesepakatan atau konsensus nasional (al-mîtsâq wathanî). Penerimaan tokoh Islam terhadap negara-bangsa berdasarkan Pancasila menunjukkan, bahwa watak Islam di Indonesia adalah moderat, yang sangat menghargai toleransi dan persatuan dalam keberagaman bangsa serta menerima NKRI. Hal ini ditunjukkan pula oleh organisasi-organisasi Islam besar, terutama NU dan Muhammadiyah, dalam amandemen UUD 1945 di awal era reformasi, yang tidak mendukung pencantuman Piagam Jakarta atau pelaksanaan syariat Islam dalam konstitusi.References
i
Cf. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990),
hlm. 1.
ii Muhammad Yamin (ed.), Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar, (Jakarta: Prapanca, 1959), hlm.
iii Yudi Latif, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: PT Gramedia,
Cetakan keenam, 2017), hlm. 41.
iv Lihat “Ma’ruf Amin: Khilafah Islami, Tapi Tertolak di Indonesia”, Republika, 17 Jul 2019.
v Lihat Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2015), hlm, xv-xviii.
vi Lihat Donald Eugen Smith, Religion and Political Development, (Boston: Little Brown and Company,
, h. 124.
vii Masykuri Abdillah, “Hubungan Agama dan Negara dalam Konteks Modernisasi Politik di Era
Reformasi”, dalam Ahkam, Vol. XIII, No. 2, Juli 2013, hlm. 249.
viii Lihat Alfred Stepan, “Tunisia’s Transition and the Twin Tolerations”, dalam Journal of Democracy,
Vol. 23, No. 2, April 2012, hlm. 69.
ix Cf. Jonathan Fox and Shmuel Sandler, “Separation of Religion and State in the Twenty-First
Century”, in Comparative Politics, Vol. 37, No. 3, April 2005, hlm. 318.
x Alfred Stepan, “Religion, Democracy, and Twin Tolerations”, dalam Journal of Democracy, Vol. 11,
No. 4, Oktober 2008, hlm. 41.
xi Alfred Stepan, “Religion ...”, hlm. 42.
xii Politik identitas menjadi ancaman yang serius dalam kehidupan politik, termasuk di negara -negara
Barat yang praktik demokrasinya sudah lebih maju. Hal ini karena politik identitas akan
melanggengkan persaingan dan konflik antar kelompok yang sering disertai dengan ujaran
kebencian dan kekerasan. Lihat Mahpudin, “Demokrasi dan Kebangkitan Politik Identitas: Refleksi
Perjalanan Demokrasi Pasca Orde Baru”, dalam Internasional Jurnal of Demos (IJD), Vol. 1, April 2019.
xiii Menurut Juan Linz dan Alfred Stepan, transisi yang lengkap telah terjadi ketika empat persyaratan
terpenuhi, yakni adanya kesepakatan yang memadai tentang prosedur penyelenggaraan pemilu yang
demokratis; pemerintah dipilih secara langsung dalam pemilu bebas; pemerintah memiliki
kewenangan untuk merumuskan kebijakan; dan tidak ada pembagian kekuasaan di luar eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Sedangkan demokrasi yang terkonsolidasi memiliki tiga ciri, yaitu ketika
demokrasi itu terinternalisasi baik secara sikap, tingkah laku, maupun konstitus i. Lihat Juan J. Linz
dan Alfred Stepan, di http://muse.jhu.edu/journals/journal_of_democracy/ v007 / 7.2linz.html.
xiv Tentang perdebatan dan argumentasi tentang kompatibilitas Islam dan demokrasi, lihat Masykuri
Abdillah, Islam dan Demokrasi, Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi, (Jakarta:
Prenada Media Grup, 2015).
xv Lihat Al-Wa’ie, No. 151, Tahun XIII, 1-31 Maret 2013.
xvi Pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab antara lain dapat dilihat pada kitabnya, Kasyf alSyubuhât li al-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb, (Iskandaria: Dâr al-Îmân), sedangkan pemikiran
Sayyid Quthb antara lain dapat dilihat pada kitabnya, Ma’âlim fî al-Tharîq, (Beirut: Dâr al-Syurûq,
.
xvii Cf. Yudi Latif, Negara Paripurna, hlm. 369-370.
xviii Cf. Moderasi Beragama, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019), hlm.5-6.
xix Untuk memahami lebih dalam tentang prinsip al-walâ’ wa al-barâ’, baca Shalih bin Fauzan alFauzan, Al-Walâ’ wa al-Barâ’ fî al-Islâm, (Gaza: Markaz al-Bahts al-‘Ilm Jam’iyyah Dâr al-Kitâb wa alSunnah), dan Muhammad Said Al-Qahthani, (Al-Walâ’ wa al-Barâ: Konsep Loyalitas dan Permusuhan
dalam Islam, (Jakarta: Ummul Qura, 2013)
xx Lihat Masykuri Abdillah, “Membendung Politisasi Agama”, dalam Kompas, 11 Juli 2018.
xxi Lihat Wawasan Kebangsaan dan Nilai-Nilai Bela Negara, (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI,
, hlm. 22.
xxii Cf. Yusuf al-Qaradhawi, Kalimât fî al-Wasathiyyah al-Islâmiyyah wa Ma’âlimihâ, (Kairo: Dâr alSyurûq, 2011), hlm. 41-50
Downloads
Published
Issue
Section
License
Authors who publish with this journal agree to the following terms:
- Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a Creative Commons Attribution License (CC BY-NC-SA 4.0) that allows others to share the work with an acknowledgment of the work's authorship and initial publication in this journal.
- Authors are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal's published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book), with an acknowledgment of its initial publication in this journal.
- Authors are permitted and encouraged to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work (See The Effect of Open Access).